Jumat, 11 Maret 2011

cita di ujung cita


http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSUdcwaddlM5oL25j9r9p1sYWzSdwA3YyPZaAXfCyBMcTHJv8YMWQ
Islamedia - Ingatkah Tuan pada kisah seorang lelaki Badui yang ikhlas berjihad dan mengharapkan kesyahidan?

Sebuah kisah ketulusan tekad, kemurnian niat, dan kesucian cita yang tak pernah ternodai oleh lumpur dunia serta pesona kemilaunya. Hatinya lurus menghadap Allah, lakunya mantap hanya syahid yang diharap. Akan saya nukilkan sepotong hidupnya untuk kita nikmati dan kita renungi pendar juang citanya.

Saat itu seorang lelaki Baduwi yang tidak tercatat namanya dalam sejarah datang menemui Rasulullah, sebagaimana dikisahkan oleh Imam An Nasa’i. Ia beriman, lantas bertaqwa. Aku berhijrah untuk mengikuti ajaranmu,” katanya.
Setelah kembali dari suatu peperangan, Rasulullah memperoleh harta rampasan perang. Rampasan itu dibagibagi untuk Rasulullah dan para shahabat. Orang Baduwi tersebut juga mendapat bagian. Tetapi ia tidak kelihatan. Ketika suatu hari ia berada di tengahtengah shahabat. Para shahabat memberikan jatah tersebut kepadanya. 

Ia bertanya, “Apa ini?”
“Bagianmu yang telah disisihkan oleh Nabi.”
Ia mengambil jatah tersebut lalu mendatangi Rasulullah seraya bertanya, “Apa ini?”
Beliau menjawab, “Aku telah menyisihkannya untukmu.”
“Aku mengikutimu bukan untuk memperoleh seperti ini, tetapi agar aku terkena anak panah di sini sehingga aku menemui ajalku dan masuk surga,” katanya sambil mengisyaratkan telunjuknya pada satu bagian di lehernya.
Jika engkau jujur kepada Allah,” kata Rasulullah, “Niscaya Allah percaya dan akan menyampaikan keinginanmu.

Ia terdiam sejenak, kemudian bangkit untuk ikut serta memerangi musuh. Setelah itu datang seseorang menggotongnya sambil membawa pedang, dia terluka pada bagian sebagaimana yang ia isyaratkan, lehernya. Sebuah anak panah telah menembus lehernya. Tepat! Tepat di bagian yang sebelumnya ditunjuknya.

“Apakah ini orang Baduwi yang itu?” tanya Rasulullah.
“Benar.”
“Ia jujur kepada Allah,” kata Rasulullah, “Maka, Allah memenuhi permintaannya.”

Pemandangan indah pun nampak tatkala Rasulullah mengkafaninya dengan baju jubah beliau, kemudian menshalatkannya. Sebuah penghargaan yang demikian tinggi untuk seorang Baduwi yang bahkan namanya tidak pernah dicatat sejarah. Rasulullah pun bahkan berdoa secara khusus untuknya, “Ya Allah, ini adalah hambaMu, keluar dari kabilahnya untuk berhijrah menuju jalanMu, kemudian mati syahid karena terbunuh, dan aku menjadi saksi atas yang demikian itu.”

Begitu indah sebuah cita-cita dari seorang lelaki sederhana yang berbalut ketulusan dan keikhlasan. Mawujud secara nyata hingga sedetildetilnya karena kejujuran hatinya bertemu dengan ijabah ilahiyah. Bukan sekadar kedustaan cita dan anganangan belaka, tetapi ridha Allah.

Namun, ada pula cita tulus yang terkadang tak mawujud sesuai kehendaknya, akan tetapi Allah tetap mengijabah keinginannya secara maknawi, tanpa gincu kausalitas material. Shahabat yang mulia, Khalid bin Walid, mengejawantah dalam konsepsi ini. Ia adalah panglima bergelar Saifullah, Pedang Allah. Seorang panglima militer terbaik di masanya. Tak terkalahkan dalam peperangan yang dipimpinnya. Begitu kuat cita dan azzam dirinya meraih syahid dan bergelar syuhada’. Di tiap peperangan yang dijuangkannya, senantiasa harapan itu yang membuncah memenuhi rongga jiwanya. Bergerak merangsek ke kumpulan musuh, menebaskan pedangnya, hanya dua kemungkinan yang terjadi, ia membunuh musuh atau ia yang terbunuh. Dan tak pernah ia terbunuh dalam puluhan bahkan mungkin ratusan peperangan yang diikutinya.

Dicatat dalam Siyar A’lam Nubala, saat Khalid akan meninggal dunia, beliau menangis dan berkata, “Aku telah mengikuti perang ini dan perang ini bersama pasukan, dan tidak ada satu jengkal pun dari bagian tubuhku kecuali padanya terdapat bekas pukulan pedang atau lemparan panah atau tikaman tombak. Dan sekarang aku mati di atas ranjangku terjelembab sebagaimana matinya seekor unta. Janganlah mata ini terpejam seperti mata para pengecut.”

Sebuah ironi, dalam tanda kutip, Allah menghendakinya menghembuskan napas jiwa terakhirnya di atas ranjangnya, bersama air mata yang meleleh mengharapkan kesyahidan, di usia 52 tahun. Namun, Allah tidak menyianyiakan perjuangan dan keabadian citanya. Sang Kekasih, Rasulullah, pernah berkata, seakan kata itu hanya untuk Khalid bin Walid, “Barangsiapa yang memohon syahid kepada Allah dengan tulus, maka Allah akan menyampaikan dirinya ke derajat syuhada’ meskipun dia mati di atas ranjangnya.”

Shahabat mulia itu tidak pernah syahid di medan pertempuran, tapi ia menempati derajat syuhada’ seperti cita yang diharapkannya.

Begitu juga dengan shahabat mulia yang lain, Umar bin Khathab. Saat itu beliu menjabat sebagai Amirul Mu’minin. Kepada para shahabat-shahabat Rasulullah, beliau berkata, “Bercita-citalah!”

Seseorang mengatakan, “Saya bercita-cita seandainya rumah ini penuh dengan emas, niscaya akan saya infaqkan di jalan Allah.”

Umar berkata kembali, “Bercita-citalah!”
Seseorang yang lain mengatakan, “Saya bercita-cita rumah ini penuh dengan mutiara, zamrud dan permata, niscaya saya akan menginfaqkan di jalan Allah dan menyedekahkannya.”

“Bercita-citalah!” kata Umar kembali. Seakanakan ia tidak puas dengan jawaban para shahabatnya.
Shahabatnya pun berkata, “Kami tidak tahu lagi apa yang harus kami katakan, wahai Amirul Mu’minin.”

“Aku,” kata Umar bin Khathab, “Bercita-cita tampilnya orangorang seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Mu'adz bin Jabal, dan Salim maula Abu Hudzaifah. Niscaya aku akan meminta bantuan guna menegakkan kalimatullah!

Cita-cita Umar memang tak pernah mawujud, tapi pada masanya, Islam mampu tegak dan membebaskan negerinegeri di berbagai benua dari lumpur kenistaan dan kejahiliyahan. Mengangkat mereka ke kemuliaan cita rasa kemanusiaan dan penghambaan, serta memakmurkan mereka dengan cinta ilahi. Tentu sja semua yang dilakukan Umar bin Khathab itu adalah dalam rangka mennggapai ridha Allah.



Subhanallah, cita-cita yang tinggi akan mengantarkan pemiliknya pada ketercapaian dan ketermawujudan cita-cita itu, dengan perjuangan yang benar dan keikhlasan yang tulus. Dan apa yang dicita-citakannya itu bukanlah sekadar anganangan semu, tanpa perjuangan dan perhitungan jalan. Maka, marilah bercita-cita yang jauh. Cita yang terderivatisasi dalam cita-cita pengantarnya yang banyak dan panjang. Yang mungkin akan sangat melelahkan, tapi kemawujudannya adalah hadiah ilahi yang tak ternilai.

Selalu ingatlah saat Umar bin Khathab berwasiat tentang cita-cita, “Jangan sekalikali kamu memperkecil cita-citamu, karena sesungguhnya aku tidak melihat seseorang yang terbelenggu kecuali karena ia tidak memiliki cita-cita.”
Citakanlah mardhatillah, ridha Allah.. Sebuah cita di ujung cita.

Inspirasi dari Shabra Shatilla 
sumber : http://www.islamedia.web.id/2011/03/cita-di-ujung-cita.html dengan sedikit perubahan 

2 komentar:

imamsolikin_durikaktus mengatakan...

Jazakillah Mbak Pen untuk share nya.

kucingkumanis mengatakan...

waiyyak ... itu copast... smg manfaat...

Posting Komentar